Menjadi Produktif Ala Dramawan Putu Wijaya
“Waktu harus digenggam, disiasati, agar bisa “dimainkan” hingga produktif.” – Putu Wijaya
I Gusti Ngurah Putu Wijaya, adalah seorang dramawan Indonesia yang akrab disebut Putu Wijaya. Lahir di Puri Anom, Saren, Kangin, Tabanan, Bali pada 11 April 1944.
Putu Wijaya merupakan salah satu sastrawan paling produktif di Indonesia yang telah menulis 40 naskah dan novel, 1000 cerpen, 18 skenario teater, 3 skenario film, dan 250 episode serial TV.
Hobi menulis sudah ia kenali sejak sekolah dasar. Ia selalu mendapat nilai bagus untuk pelajaran mengarang, dan selalu senang jika disuruh bercerita di depan kelas, begitu ucapnya dalam wawancara Budiman S Hartoyo (Arsip majalah Berita Buku, Oktober/November 1995). Kelas III SMP barulah ia menulis dengan serius. Cerita pendeknya berjudul Etsa pertama kali dimuat dalam harian Suluh Indonesia edisi Denpasar, lalu di rubrik remaja majalah Mimbar Indonesia (Jakarta) yang bernama Fajar Menyingsing.
Keproduktifannya dalam menulis, berasal dari sikap disiplin yang diterapkan Ayahnya sejak kecil. Ayahnya mendidiknya untuk selalu bangun pagi. Meski bungsu dari lima bersaudara, ia tidak menikmati kemanjaan. Pada 1971 ia bekerja di Tempo. Saat itu ia menjadi menjadi wartawan olahraga dan belajar menulis sesuatu yang semula tidak diketahuinya, dari situ juga ia belajar membiasakan diri bekerja atau menulis dengan “tekanan” untuk mengejar tenggat — yang mana adalah suatu siksaan bagi seorang pengarang.
Terdapat beberapa hal yang dapat kita perhatikan darinya dalam hal menulis. Putu Wijaya mengaku belajar menulis laporan jurnalisme dengan gaya sastra, mencari idiom baru dalam mengungkapkan pikiran, pemilihan kata yang tepat, dan menghindari pengulangan kata meskipun terkadang pengulangan diperlukan untuk memberi tekanan. Selain itu, dari Tempo ia juga belajar mendengarkan orang lain dikarenakan Tempo mengharuskan wawancara berbagai pihak atau bothside coverage. Dari situ dapat dipelajari bagaimana menetukan angle dengan keterangan dari berbagai pihak agar imbang.
Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman menjadi redaktur (1979–1985). Putu Wijaya bersama rekan-rekannya di majalah Tempo mendirikan Teater Mandiri pada tahun 1974 yang sudah dibawanya berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel serta tampil di Jepang pada tahun 2001. Ia juga memiliki pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Dari Goenawan Mohamad juga ia banyak belajar. “Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo,” ungkap Putu.
Salah satu ciri orang cerdas adalah dalam menyampaikan sesuatu — baik bicara maupun menulis, ia akan membuatnya menjadi mudah dimengerti. Apa yang disampaikan harus dapat dimengerti oleh semua kalangan, tidak hanya orang intelek saja.
Putu menyatakan dalam wawancara Budiman S Hartoyo (Arsip majalah Berita Buku, Oktober/November 1995), bahwa dalam melakukan sesuatu, ia dapat menunda atau mempercepat perasaannya agar tidak mengganggu produktivitasnya — khususnya dalam menulis. Hal ini dilatarbelakangi juga oleh keaktorannya. Ia yang terbiasa dengan akting di teater merasa sangat terbantu karena terbiasa pula dalam “mempermainkan” perasaan-perasaan. “Seperti misalnya ketika ayah saya wafat, 1970. Ketika itu saya sedang menulis mengenai sebuah diskotik. Saya tentu saja sedih, tapi kesedihan itu saya tunda sebentar, sekitar dua jam, untuk menulis suasana diskotik yang meriah dan gembira.”
Mengendalikan perasaan seperti ini mengingatkan kita bahwa hidup harus tetap terus berjalan setelah kita melewati musibah sekalipun, namun bukan berarti mengurasi rasa simpati terhadap suatu musibah. Meski ada saat-saat yang berat, jangan lupa untuk kembali bangkit dan melihat apa yang ada di depan. Maka cara tersebut bisa kita jadikan sebagai kiat bertahan atau survive dan melanjutkan produktivitas.
“Saya bisa mengatur diri dan waktu. Misalnya, saya sedang menulis lalu merasa capai, saya lantas beristirahat, tidur 10 menit. Itu cukup. Karena saya terbiasa disiplin, maka 10 menit kemudian saya benar-benar bisa bangun, kembali segar, dan kembali bekerja lagi. Saya tidak pernah telanjur pulas hingga pekerjaan terbengkelai.”, ungkap Putu dalam wawancara Budiman S Hartoyo (Arsip majalah Berita Buku, Oktober/November 1995).
Atau tidak menutup kemungkinan untuk menikmati emosi tersebut sambil menjalankan sesuatu yang lainnya sehingga tidak menghentikan produktivitas. Mungkin justru bisa saja hal tersebut malah membuat lebih semangat atau memicu hal positif lainnya asalkan kita tidak mengubur dalam-dalam emosi tersebut dan menolaknya.
“Saya terharu dan menangis. Setelah itu saya kembali ke komputer meneruskan menulis skenario komedi. Sementara air mata saya bercucuran, saya menulis komedi yang harus lucu. Pahit dan manis sekaligus, saya nikmati…..”
Selain mendisiplinkan diri dari perihal waktu, ia juga memerhatikan kesehatannya dengan tidak merokok dan selalu minum air putih, karena menurutnya minum adalah kebutuhan wajib bagi tubuh. Perihal makanan, ia juga tidak menggunakan vetsin dan memerhatikan kadar kolestrol.
Di bangku SMA, pertama kalinya ia bermain drama untuk perpisahan SMA dalam lakon Badak terjemahan Nasjah Djamin dari Anton Chekov. Saat itu Krijomuljo — penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta — menyutradarai drama tersebut. Pada momen tersebut ada kata-kata Krijo yang benar-benar menusuk baginya,
“Kau harus berjuang untuk menjadi pengarang.”
Menurut Putu, kreativitas itu harus diciptakan, kita harus bekerja keras untuk melahirkannya, bukan sekedar menunggu ilham. “Jadi, saya harus bekerja keras. Menubruk kesempatan apa pun. Ada sayembara mengarang, saya tubruk. Ada kesempatan menulis di majalah atau koran, saya tubruk. Saya benar-benar bekerja keras untuk menulis buku. Kalau perlu saya bacakan supaya orang mau membacanya pula.”
Ada beberapa hal yang penting untuk kita garis bawahi dari berbagai statement di atas. Khusus dalam menulis, carilah idiom baru untuk mengungkapkan pikiran, gunakan kata yang tepat, dan hindari pengulangan kata. Kedua, jika ingin mengedepankan produktivitas, kendalikanlah perasaan selagi bisa, jangan serta merta mengikuti mood dan pemicu lainnya, dengan begitu kita akan bisa survive dan tetap produktif. Terakhir, selagi ada kesempatan, jangan sia-siakan. Ciptakanlah kreativitas. Lebih baik menyesal karena sudah melakukan daripada tidak sama sekali. Selamat menulis dan semangat berproduktivitas!^^
Sumber:
Ensiklopedia Sastra Indonesia — Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Putu Wijaya. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Putu_Wijaya
Budiman S. Hartoyo. Putu Wijaya: Mengarang itu “Berjuang!”. https://etno06.wordpress.com/2010/01/10/putu-wijaya-mengarang-itu-%E2%80%9Cberjuang%E2%80%9D/
Widyartha Suryawan. Sosok Putu Wijaya Sastrawan Indonesia Produktif Kelahiran Bali, Profilnya Ditayangkan TVRI Pagi Ini. https://bali.tribunnews.com/2020/04/25/sosok-putu-wijaya-sastrawan-indonesia-produktif-kelahiran-bali-profilnya-ditayangkan-tvri-pagi-ini.
Alumni Universitas Gadjah Mada. I Gusti Ngurah Putu Wijaya. https://alumni.ugm.ac.id/2019/04/24/i-gusti-ngurah-putu-wijaya/.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Putu Wijaya. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/273